Click Click!

Saturday, January 14, 2017

[Bahasa] Bukan Keistimewaan

Ketika saya bertemu dengan beberapa teman lama di sebuah pusat perbelanjaan, saya terdiam. Mereka dengan gestur anggunnya mulai berkisah tentang liburan masing-masing. Berbeda dengan saya yang datang dari keluarga kelas menengah, mereka lahir di lingkungan yang berkelebihan. Satu baru saja kembali dari tur keliling Eropa, yang lain dari negeri kangguru. Saya hanya duduk dan diam mendengarkan, sementara mereka berdebat mengenai perbedaan harga sebuah tas Chanel di kedua negara. Tak satupun dari mereka yang menggaet saya untuk masuk dalam percakapan. Saya seakan menyatu dengan tembok yang melatar belakangi meja kami. Seharusnya saya tidak seperti itu. Seharusnya, saya sadar bahwa berbicara merupakan hak asasi saya, bukan keistimewaan.

Di hari yang lain, saya mengalami sakit demam yang berkepanjangan. Keadaan itu memaksa saya untuk pergi ke rumah sakit untuk tes darah. Saya pun duduk di sebuah bangku panjang di ruang tunggu, menanti nama saya dipanggil oleh salah satu perawat. Setelah berurusan dengan dokter dan menerima resep obat, saya beranjak menuju kasir untuk menebus obat dan biaya periksa.  Seseorang di depan saya, dengan kartu asuransi yang ternama, dibebaskan dari biaya periksa dan hanya perlu membayar obat. Giliran saya pun tiba. Saya menyerahkan kartu BPJS saya. Tetapi, kasir tersebut dengan tersenyum kecil memberitahu saya 'dengan menyesal' bahwa BPJS tidak diterima di rumah sakit tersebut. Orang yang membayar sebelum saya itupun, yang masih menunggu obatnya datang, memberikan saya pandangan iba. Saya pun menunduk malu dan dengan segera mengeluarkan uang tunai. Saya seharusnya tidak seperti itu. Saya seharusnya sadar, bahwa kesehatan dan perlakuan sopan itu adalah hak asasi saya, bukan keistimewaan.

Di hari yang lain lagi, saya berjalan melewati  sebuah sekolah negeri terkemuka di belahan kota Jakarta. Anak-anak dengan seragam putih merahnya berjalan menyeruak dari gerbang besarnya. Tiba-tiba pandangan saya terpaku pada segerombolan anak ingusan yang mengitari seorang temannya dengan perawakan kecil dan lemah. Mereka memojokkannya dengan wajah penuh keangkuhan. Jagoan kecil, ceritanya. Saya pun dengan rasa penasaran mendekati gerombolan tersebut dan mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut salah seorang anak, "Heh. Duitnya mana? Jangan lupa sekalian bunganya, loh!" Saya pun naik pitam dan mulai membentak sekumpulan anak itu, "Kalian ngapain? Kenapa malakin temen sendiri?! Sekarang semua pulang. Bubar!" Mereka dengan ketakutan berlari ke arah yang berbeda, membubarkan geng kecil tersebut. Saya tahu mereka tidak seharusnya seperti itu. Rasa aman itu hak dari anak kecil itu, bukan keistimewaan.

Dari kisah yang saya alami itu pun saya tersadar, bahwa hal-hal kecil yang kita anggap tidak penting; barang sebuah rasa aman maupun rasa dihargai, adalah hak asasi tiap-tiap manusia, bukanlah sebuah keistimewaan. Mereka tidak didapatkan hanya bila kita telah mendapatkan sebuah status sosial tertentu. Terkadang, kita lupa bahwa manusia, memiliki hak-hak dasar yang sama, yang didapatkan sejak keluar dari rahim ibu. Terkadang, kita lupa bahwa terdapat hak asasi orang lain yang harus dipenuhi dan kita hargai. Kita bahkan terkadang lupa bahwa kita sendiri memiliki hak tersebut.

Dan dari kisah anak yang ditindas oleh teman-temannya, saya menemukan satu pelajaran. Apabila saya tidak datang di waktu yang tepat, anak tersebut mungkin akan kehilangan uangnya untuk pulang naik angkutan umum. Sama dengan hak asasi pada umumnya. Apabila kita tidak menyadari adanya hak asasi orang-orang lain yang dilanggar oleh sebuah sistem maupun pihak tertentu, tidak akan ada sebuah gerakan nyata untuk membela mereka yang lemah dan tidak memiliki daya untuk menyuarakan nuraninya. Dan bila kesadaran itu sepenuhnya lenyap dari muka bumi, dimana tiap individu tak lagi mementingkan hak orang lain sedikitpun, maka tidak akan lagi tercipta konsep kemanusiaan.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita sadari. Pertama, sadarilah bahwa hak asasi adalah hal yang harus dan sepantasnya kita terima, bukan keistimewaan. Kedua, sadarilah bahwa hak asasi itu juga dimiliki orang lain, bukan keistimewaan kita sendiri. Ketiga, sadarilah bahwa menyadari bahwa hak asasi bukanlah keistimewaan, adalah alasan mengapa kemanusiaan tetap eksis sampai saat ini.

"I alone cannot change the world, but I can cast a stone across the waters to create many ripples." -Mother Teresa

-Abigail Gee

No comments:

Post a Comment